Pagi menjelang, namun suasana kuburan yang biasanya sepi ini menjadi ramai seperti tempat wisata. Aroma khas dari dupa (hio) yang dibakar membuat harum suasana disana. Satu keluarga, mulai dari yang tua hingga yang masih balita. Ramai-ramai mereka menuju makam leluhur mereka masing-masing, mengirim bekal untuk mereka yang sudah terlebih dahulu menghadap yang kuasa. Uang emas, uang perak, baju kertas, sepatu kertas, aneka hidangan makanan dan minuman , beberapa batang dupa berpadu tersusun didepan nisan.
Sembahyang kubur di Kota Singkawang dilaksanakan dua kali dalam setahun, yaitu Cheng Beng atau Chiang Miang (dalam bahasa ‘khek’ Singkawang) setiap bulan ke-3 dan Chit Nyiat Pan yang dilaksanakan pada bulan ke-7 dalam penanggalan imlek. Sembahyang kubur merupakan salah satu bentuk penghormatan dari mereka yang masih hidup kepada leluhurnya. Saat yang tepat untuk memohon dan memanjatkan doa agar anak cucu yang hidup di dunia ini diberi kehidupan yang lebih baik dan bahagia. Dari berbagai penjuru para keluarga berdatangan, baik di dalam maupun dari luar negeri, datang menuju kota Singkawang, salah satu kota yang mayoritas penduduknya merupakan etnis Tionghoa.
Salah satu bentuk budaya yang masih diwarisi hingga sekarang, dan akan terus berlangsung,untuk menghormati para leluhur. Budaya yang terus dilestarikan, seiring meningkatnya jumlah polulasi manusia di bumi, sebuah penghormatan yang dilakukan dengan cara tersendiri, sebagai bentuk refleksi bahwa suatu saat nanti mereka yang saat ini masih di bumi juga akan berada ditempat seperti ini, dan keturunan mereka juga akan meneruskan tradisi ini dengan mengirim dan memanjatkan doa nya.
Foto & Text :
Yohanes Kurnia Irawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar